Rabu, 15 Februari 2012

Tu 16, Pesawat Pembom Jarak Jauh & Terbesar AURI

Tu 16, Bomber Indonesia Yang Menggetarkan Dunia


Para Pilot & Kru Pesawat TU-16 AURI

Suwandi Sudjono , Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur
1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded. Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003. Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.
Diselimuti rahasia
Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai penerbang TNI AU.
Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). “Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat,” tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4 April 1936.
“Padahal saya masih ko-pilot,” katanya lagi. Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat.

Tu-16 & his crew
Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign “Thunder Jet” dan Sumarno “Thunder Bird” berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan Suwandi dengan Saroso. “Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa,” kata Suwandi.
Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke Indonesia.
Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.
Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. “Ini khasnya intelijen,” jelas Suwandi.

TU-16 & with his Kennel missile
Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet. “Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali.” Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya orang Rusia.
Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut. Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar. Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.
Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.

TU-16 AURI Flying
Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? “Kami disuruh ke Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline,” jelas Suwandi senyum.
Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.
Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.
Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.
Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16, sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.
Jatuh di ladang tebu
Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, “Dengan beraninya kita fly over di atas mereka,” aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?
Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini “berani” menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.
Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. “Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam,” jelas Suwandi.
Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.
Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah kanan mati. “Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed,” tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.
Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu ikut-ikutan mati.
Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara drastis. “Mau loncat, pesawat terlalu rendah,” kata Suwandi. Akhirnya instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar bisa mendarat secepat mungkin.
Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu menjelang landasan. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi” akunya. Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. “Beberapa detik sebelum jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi,” tutur Suwandi lagi.
Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.
Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, “Ndi, kon isih urip.” Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. “Aku isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo,” jawab Suwandi.
Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. “Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas,” kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. “Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas.”
Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, “Berarti badan pesawat amblas ke dalam tanah.” Langsung saja dia mengambil sikap sempurna, memberi hormat kepada pilotnya yang “gugur”.
Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. “Kita ditinggal begitu saja,” papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung pesawat lewat pecahan yang menganga. Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. “Oh… masih ada,” tuturnya sambil tertawa.
Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.
Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. “Ajaib, sulit dipercaya,” papar Suwandi.
20 mesin
Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala Lumpur. “Leo yang memerintahkan, dia juga ikut,” aku Suwandi. Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!
Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri “jalan” ke Medan hingga mendarat dengan selamat.
Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak jarang pula, mereka “bermain” hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.
Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI.
Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. “Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang,” jelas Suwandi
Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. “Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada,” jelas Subagyo.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.
M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang wing.
Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.
Lalu apa? “Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded,” kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. “Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red),” tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa “penunggu”.(ben)

sumber: http://bpn16.wordpress.com/2010/09/10/tu-16-pesawat-pembom-jarak-jauh-terbesar-auri/

Tzar Bom, Bom Nuklir yang Daya Ledaknya Terbesar di Dunia




Tsar Bomba yang berarti Kaisar Dari Segala Bom adalah sebuah bom nuklir yang diciptakan oleh negara Uni Soviet. Tsar Bomb adalah proyek dari Ivan, pembuatan bom membutuhkan waktu selama 15 minggu dan diuji coba pada tanggal 30 Oktober 1961.

Bom ini diuji cobakan di sekitar Pulau Novaya Zemlya, Laut Artik[1]. Tsar Bomba memiliki berat sebesar 27 ton dan diangkut oleh pesawat TU-95 yang merupakan pesawat pengebom terbesar pada jamannya.

Ketinggian pelepasan bom adalah setinggi 34.500 feet, dan sewaktu meledak memiliki daya ledak sebesar 50 Megaton TNT yang sebanding dengan seluruh bom yang meledak pada Perang Dunia 2 dan dikalikan 10.

Awalnya, Tsar Bomba direncanakan memiliki daya ledak sebesar 100 Megaton TNT tetapi dibatalkan karena berdampak luas bagi Atmosfer. Ledakan dapat terlihat sampai 1.000 km dari tempat peledakan.

Ketinggian Jamur Api yang dihasilkan oleh bom ini setinggi 64 kilometer, ionisasi dari ledakan menyebabkan gangguan radio komunikasi selama berjam-jam. Parasut digunakan untuk mencegah bom meluncur terlalu cepat. Bom Tiruan disimpan di Sarov.




Quote:


Quote:
Data-Data :

Negara : USSR / UNI SOVIET (sekarang sudah bubar )

Nama Proyek : Ivan

Waktu Proyek : 15 minggu

Waktu Uji Coba : 30 Oktober 1961, 11.53am

Tempat Uji Coba : Sekitar Pulau Novaya Zemlya, Laut Artik

Berat Bom : 27 Metric ton

Media Angkut : Pesawat Pembom TU-95 Bear D (pesawat pembom terbesar pada zamannya)

Ketinggian Pelepasan Bom : 34.500 feet

Daya Ledak : 50 Megaton TNT, sebanding dengan seluruh bom yg meledak pada Perang Dunia II dan dikalikan 10

Rancangan awal daya ledak : 100 Megaton TNT dibatalkan karena berdampak luas bagi atmosfer

Ledakan terlihat hingga jarak : 1.000 km

Lama Suara ledakan : 49 menit

Ketinggian Jamur Api : 34.000 feet, ionisasi dari ledakan menyebabkan gangguan radio komunikasi selama berjam-jam

Accesoris : Parasut, yg berguna untuk mencegah bom meluncur terlalu cepat

s





























































sumber:http://share2share.yours.tv/t54-tzar-bom-bom-nuklir-yang-daya-ledaknya-terbesar-di-dunia

Senin, 06 Februari 2012

UAV BPPT Tidak terdeteksi radar


UAV Alap-Alap dalam sebuah pengujian oleh BPPT (photo : BPPT)


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi
pesawat intai tanpa awak alias unmanned
aerial vehicle (UAV), buatan Badan
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
(BPPT) tidak bisa dideteksi radar pesawat.
Kepala Program Pesawat Udara Nir Awak
(PUNA) BPPT Joko Puwono, mengatakan
prototipe pesawat terbang produksinya
dijamin tidak terdeteksi radar musuh.
Pasalnya seluruh bahan pesawat terbuat
dari komposit murni tidak mengandung
unsur metal. Meski begitu, pihaknya
menyatakan pesawat intai Wulung, Gagak,
Pelatuk, Alap-alap, hingga Slipi, tetap butuh
pengembangan dan inovasi untuk
menyiasati semakin canggihnya
pendeteksian teknologi radar lawan.
"Pesawat kami dijamin tidak terdeteksi
radar, tapi kalau memuai sedikit karena
panas mesin bisa jadi terdeteksi radar.
Masih butuh pengembangan," beber Joko
kepada Republika, Sabtu (4/2) .
Karena pengembangan pesawat intai butuh
modal, pihaknya menyarankan Kementerian
Pertahanan (Kemenhan) agar tidak perlu
jauh-jauh membeli produk Israel Aerospace
Industries (IAI). Selain bisa memperkuat
industri pertahanan dalam negeri, lanjut
Joko, anggaran pembelian pesawat dapat
digunakan untuk inovasi dan
pengembangan pesawat intai karya BPPT.
Berdasarkan catatan Republika, harga
pesawat intai IAI dengan teknologi terbaru
rata-rata 6 juta dolar AS atau Rp 54 miliar.
Adapun PUNA BPPT hanya menghabiskan
anggaran Rp 1,3 miliar per unit.
Memang diakuinya produk Israel lebih
canggih, namun kalau pesawat intai BPPT
semakin sering diutak-atik maka butuh
beberapa tahun untuk mengejar
ketertinggalan teknologi. Ini lantaran
sumber daya manusia (SDM) BPPT hanya
kurang mendapat kesempatan dan
pembelajaran sebab Kemenhan maupun
user lain tidak pernah mengajak pihaknya
untuk mengembangkan pesawat intai
terbaru. "Pesawat kami ada yang jenis
patroli keamanan di lautan hingga untuk
membuat hujan buatan, tinggal
dimodernisasi saja," papar Joko.
(Republika )

Menkeu Optimis Pertumbuhan Ekonomi Tetap Tinggi



JAKARTA - Menkeu Agus Martowardojo optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini masih dijaga sesuai proyeksi, meskipun akan terjadi pemangkasan anggaran akibat lonjakan harga minyak dunia. Menkeu mengatakan sektor riil akan tetap menjadi perhatian pemerintah untuk menopang perekonomian.

Pemangkasan anggaran akan dilakukan dalam APBN Perubahan yang pengajuannya akan dipercepat dari jadwal normal yang biasanya pada Juli. Pemotongan ini untuk merespons perubahan sejumlah asumsi makro, serta mengantisipasi tak terlaksananya kebijakan harga energi seperti kenaikan tarif tenaga listrik.

"Kalau kita melakukan APBNP, kita akan selalu menjaga kesehatan fiskal dan moneter kita. Kita akan menjaga sektor riil kita supaya bergerak terus supaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang 6,7 persen," kata Menkeu di kantornya akhir pekan lalu.

Dia menambahkan program jaring pengaman sosial juga bakal terus dijalankan. Sejumlah lembaga keuangan internasional telah merevisi target pertumbuhan ekonomi, termasuk untuk Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tidak akan beranjak dari kisaran 6,3-6,5 persen. Pertumbuhan ini terutama dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekspor yang mulai terlihat di pengujung tahun lalu.

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, risiko resesi di Eropa patut diwaspadai. Ini karena akan berpengaruh signifikan terhadap ekspor Amerika dan Tiongkok. Namun, perlambatan ekspor tak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Dia menunjuk data rasio ekspor Indonesia terhadap total output ekonomi atau Produk Domestik Bruto hanya 24,6 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan negara lain.

"Dampak negatif perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian nasional akan lebih kecil dibanding negara lain," kata Purbaya.

Menurut Purbaya, nilai impor juga akan terus meningkat. Ini menandakan peningkatan aktivitas aktivitas ekonomi domestik.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor sepanjang 2011 telah menembus USD 203,62 miliar atau tumbuh 29,05 persen. Namun dari bulan ke bulan, pertumbuhannya terus melambat.

Nilai Ekspor Desember 2011 mencapai USD 17,20 miliar atau turun 0,22 persen dibanding November. Dibandingkan Desember tahun lalu, nilai ekspor Desember hanya tumbuh 2,19 persen. Pertumbuhan ekspor memang terus melambat.

Pada September, ekspor masih tumbuh 46,28 persen, lalu melambat pada Oktober menjadi 16,70 persen. Pada November 2011 nilai ekspor hanya tumbuh 8,25 persen. (sof)

sumber: http://www.jpnn.com/read/2012/02/06/116356/Menkeu-Optimis-Pertumbuhan-Ekonomi-Tetap-Tinggi-